Journey to Kaukasus (part 1)
Ciyeee nulis lagi haha. Emang harus mulai nulis lagi sih berhubung udah mulai lengotan [1]. Jadi tiga minggu lalu saya dapat kesempatan pergi ke Georgia dan Armenia, negara kaukasus Eks-Uni Soviet. Kenapa? Well, pertama, letaknya lumayan dekat dari UAE (3 – 4 jam penerbangan, tapi gara-gara cari murah, harus transit sana sini, jadinya perjalanan saya 8-10 jam fufufu). Selain itu, gak butuh visa in advance, bisa masuk Georgia dengan visa UAE/schengen (kalau dari indonesia pun bisa apply e-Visa georgia dan gampang), sementara Armenia bisa apply visa on arrival.
Notable experience dari trip ini:
GEORGIA
- Obyek Wisata. Alam Georgia sangat bagus dan bervariasi. Highlight bagi saya adalah gunung Kazbek yang merupakan salah satu puncak tertinggi di Pegunungan Kaukasus. Ini merupakan gunung tertinggi yang pernah saya lihat (5000-an mdpl). Di cuaca yang cerah, puncak bersalju gunung ini dapat dilihat dengan jelas. Untuk menuju sana saya naik Marshutka (semacam sharing taxi, 30 Lari Georgia PP), dari stasiun bus Didube. Perjalanan ditempuh dalam waktu 2,5 jam dengan panorama pegunungan rumput ala bukit Teletubbies di kiri kanan jalan. Dari stasiun bis Kazbegi, pendakian memakan waktu sekitar 1.5 jam menuju monastery tua (Gergeti Trinity Church) dimana dari gereja ini kita dapat melihat pemandangan gunung Kazbek di satu sisi, dan pemandangan desa Kazbegi di sisi lainnya. Selain Kazbegi, tempat wisata lainnya adalah David Gareji, Svaneti, Batumi, Kutaisi, wait, that rhymes -_-“. Kota Tbilisi, ibukota negara ini, cukup unik, konturnya berbeda-beda, banyak bukit batuan terjal bahkan di area pusat kotanya. Kotanya cukup kecil dan walkable banyak taman rimbun, gereja dan katedral unik khas Georgia, dan ada masjid walaupun cuma satu (saya jadi bisa solat Ied :D). Tempat favorit saya adalah narikala fortress, dari situ kita bisa lihat aerial view kota Tbilisi, dan Europa Park (ada dancing fountain-nya, versi kecil Dubai Fountain :D).
- Makanan. Kami mencoba makanan khas Georgia: Kinkali, semacam dumpling berisi aneka ragam sayuran, dan Kachapuri, semacam roti berbentuk pizza dengan topping keju yang banyak banget. Meskipun rasanya, ya gitu deh, tapi mencoba makanan lokal (yang masih halal) itu harus. :D. Range harga makanan di sini lumayan murah, min-max 5-20 Lari (1 Lari = 0.3 EUR) untuk sekali makan.
- Transportasi. Selama di Georgia, kami banyak menggunakan Marshutka untuk pergi ke daerah-daerah di luar kota. Ini adalah moda transportasi yang paling murah. Banyak pula paket-paket ekskursi harian yang bisa diambil, dengan harga sedikit lebih mahal, kalau ndak mau ribet. Di dalam kota Tbilisi, kami banyak berjalan kaki. Selain memang saya orang tipe pejalan, pusat kota Tbilisi tidak terlalu besar. Untuk mencapai tempat yang terlalu jauh, Metro (1 Lari per trip) atau Bus (0.5 Lari per trip) bisa jadi opsi. Taksi pun bisa jadi pilihan asal kalian tentukan harga sebelum naik dengan tarif normal untuk 5-10 km adalah 5-10 Lari. Dari bandara, kita bisa naik bus #37 dengan tarif 0.5 Lari (sampai jam 12 malam), atau taksi dengan harga 25-30 Lari jika tiba di Bandara dini hari seperti saya.
- Bahasa. Bahasa kadang sangat menjadi hambatan ketika jalan-jalan, termasuk disini. Georgia menggunakan aksara tersendiri dan entah bagaimana bacanya x_x. Jauh lebih susah jika dibandingkan dengan Cyrilic Rusia yang masih bisa saya baca dengan terbata-bata. Orang Georgia banyak pula yang bisa bahasa rusia, berhubung bekas jajahan Uni Soviet. Untungnya selama saya disana, cukup banyak yang bisa berbahasa Inggris di jalan. Saya rasa orang Georgia jauh lebih baik dari orang Rusia dalam berbahasa inggris, dan jauh lebih ramah.
Kesimpulannya, Georgia is totally recommended. Saya suka. Tiga hari di sana bagi saya tidak cukup karena masih banyak sekali tempat yang belum saya kunjungi. Sebagian foto-foto bisa dilihat di instagram saya hehe.
Next post: Armenia 🇦🇲